Wednesday 4 May 2016

ETIKA MENGAMBIL KEUTUNGAN YANG HALAL



Dalam sebuah perniagaan tentunya seorang pedagang menginginkan sebuah laba atau keuntungan yang sebesar-besarnya, lalu bagaimana hakikat keuntungan yang memberikan ketenangan bagi penjual dan rasa kepercayaan dari konsumen terhadap barang yang dibelinya ditetapkan dengan harga yang sesuai standar. Namun dimasa zaman modern ini penentuan harga tersebut jarang mendapat perhatian dari seorang pedagang yang menetapkan harga jual barangnya tanpa  mengikuti  ketetapan dari pemerintah,sehingga harga barang tersebut jika mengalami kenaikan sangat tinggi harga yang ditetapkan dan jika harga barang tersebut mengalami penurunan tidak ada batas atau standar batasan harga sehingga para pedagang mengalami kerugian. Jadi harus ada standar yang menentukan harga dalam pasar yang dilakukan pemerintah sehingga para pedagang tidak was was dalam melakukan transaksi.
Keuntungan dalam sebuah perniagaan merupakan sesuatu yang diharapkan oleh seorang pedagang, islam memberikan pedeman bagaimana syarat dalam mengambil keuntungan yang sesuai dengan Al Qur’an dan hadist,
Syarat mengambil keutungan Menurut imam mazhab yang empat keuntungan dalam transaksi jual beli tidaklah memiliki batasan tertentu, maka seorang padagang boleh mendapatkan keuntungan seberapa pun besarnya, asalkan memenuhi dua kriteria:
Pertama, keuntungan tersebut tidaklah didapatkan karena ‘menimbun’, yaitu seorang pedagang menimbun produk yang menjadi hajat kebutuhan masyarakat banyak, lalu dia jual kembali setelah harga mahal.
Perbuatan ini terlarang mengingat sebuah hadis yang ada dalam Shahih Muslim dari Ma’mar bin Abdillah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang menimbun maka dia adalah pendosa.”
Oleh karena itu, jika banyak pedagang memborong suatu produk yang menjadi hajat hidup orang banyak, lalu para pedagang ini mengadakan kesepakatan untuk tidak menjual kembali barang tersebut kecuali dengan harga tertentu yang mahal sehingga banyak kesulitan untuk mendapatkan produk tersebut atau bahkan tidak mampu membelinya, maka ini adalah tindakan yang hukumnya adalah haram karena perbuatan ini merugikan orang lain.
Pendapat yang paling kuat mengenai larangan menimbun, tidak hanya berlaku pada bahan makanan pokok saja, namun semua produk yang menjadi hajat hidup orang banyak.
Kedua, tidak ada ghaban (selisih harga yang parah jika dibandingkan dengan harga normal). Yang dimaksud dengan ghaban dalam masalah ini sebagaimana pendapat Malikiyah dan Hanabilah adalah sebagai berikut:
Jika di pasaran sudah ada harga standar untuk suatu produk tertentu, lalu ada pedagang yang menjual produk tersebut dengan harga yang lebih tinggi dengan kenaikan harga sebanyak sepertiga dari harga seharusnya untuk produk tersebut, maka manakala seorang pembeli mengetahui bahwa harga pembelian produk tersebut kemahalan, dia memiliki hak khiyar, hak melanjutkan atau membatalkan transaksi. Sedangkan pedagang yang melakukannya tergolong berdosa.
 Lain halnya untuk produk yang tidak memiliki patokan harga tertentu, maka menjual dengan harga yang jauh lebih mahal hukumnya boleh. 
Ada beberapa hadits Rasulullah saw menunjukkan bolehnya mengambil laba hingga 100% dari modal. Misalnya hadits yang terdapat pada riwayat Imam Ahmad dalam Musnadnya (IV/376), Bukhari (Fathul Bari VI/632), Abu Dawud (no. 3384), Tirmidzi (no.1258), dan Ibnu Majah (no.2402) dari penuturan Urwah Ibnul Jad al-Bariqi ra.
Sahabat Urwah diberi uang satu dinar oleh Rasulullah saw untuk membeli seekor kambing.Kemudian ia membeli dua ekor kambing dengan harga satu dinar. Ketika ia menuntun kedua ekor kambing itu, tiba-tiba seorang lelaki menghampirinya dan menawar kambing tersebut. Maka ia menjual seekor dengan harga satu dinar. Kemudian ia menghadap Rasulullah dengan membawa satu dinar uang dan satu ekor kambing. Beliau lalu meminta penjelasan dan ia ceritakan kejadiannya maka beliau pun berdoa: Ya Allah berkatilah Urwah dalam bisnisnya.
Dan meraih keuntungan lebih dari yang diambil Urwah pun diperkenankan asalkan bebas dari praktik penipuan, penimbunan, kecurangan, kezhaliman, contoh kasusnya pernah dilakukan oleh Zubeir bin Awwam salah seorang dari sepuluh sahabat Nabi yang dijamin masuk surga. Ia pernah membeli sebidang tanah di daerah Awali Madinah dengan harga 170.000 kemudian dijualnya dengan harga 1.600.000. ini artinya sembilan kali lipat dari harga belinya (Shahih al-Bukhari, nomor hadits 3129).
Namun begitu, Imam Al-Ghozali dalam Ihya Ulumuddin-nya (II/72) menganjurkan perilaku ihsan dalam berbisnis sebagai sumber keberkahan yakni mengambil keuntungan rasional yang lazim berlaku pada bisnis tersebut di tempat itu. Beliau juga menegaskan bahwa siapa pun yang qanaah (puas) dengan kadar keuntungan yang sedikit maka niscaya akan meningkat volume penjualannya. Selain itu dengan meningkatnya volume penjualan dengan frekuensi yang berulang-ulang (sering) maka justru akan mendapatkan margin keuntungan banyak, dan akan menimbulkan berkah.
Pantas kalau Ali ra. pernah berkeliling menginspeksi pasar Kufah dengan membawa tongkat pemukul seraya berkata, Wahai segenap pedagang, ambillah yang benar, niscaya kamu selamat. Jangan kamu tolak keuntungan yang sedikit, karena dengan menolaknya kamu akan terhalang untuk mendapatkan yang banyak.
Abdurrahman bin Auf pernah ditanya orang, apakah yang menyebabkan engkau kaya? Dia menjawab, karena tiga perkara: aku tidak pernah menolak keuntungan sama sekali. Tiada orang yang memesan binatang kepadaku, lalu aku lambatkan menjualnya, dan aku tidak pernah menjual dengan sistem kredit berbunga. Contoh kasusnya, Abdurrahman bin Auf pernah menjual 1000 ekor unta, tetapi ia tidak mengambil keuntungan melainkan hanya dari tali kendalinya. Lalu dijualnya setiap helai tali itu dengan harga 1 dirham, dengan demikian ia mendapatkan keuntungan 1000 dirham. Dan dari penjualan itu ia mendapatkan keuntungan 1000 dirham dalam sehari.
Itulah cermin orang mempraktekkan sabda Rasulullah saw bersabda: Semoga Allah merahmati orang yang toleran (gampang) ketika menjual, toleran ketika membeli, toleran ketika menunaikan kewajiban dan toleran ketika menuntut hak. (HR. Bukhari dari Jabir).
Itulah tuntunan Raslullah dalam bertransaksi dalam perniagaan dan mengambil keutungan yang halal sehingga kita tidak menjadi was was dalam bertransaksi.
Berikut juga kami kutip dari laman https://pengusahamuslim.com/3897-batasan-mengambil-keuntungan-dalam-islam.html  bagaimana batasan dalam mengambil keuntungan Berikut beberapa fatwa yang menjelaskan batasan mengambil keuntungan dalam berdagang,
Pertama, fatwa Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin,
Pertanyaan: ‘Apakah dalam berdagang ada batasan keuntungan? Dan bagaimana hukumnya pemerintah menetapkan harga?’
Jawaban beliau,
الربح ليس له حدّ ، فإنه مِن رِزق الله عز وجل ، والله تعالى قد يسوق الرزق الكثير للإنسان ، فأحيانا يربح الإنسان في العشرة مائة أو أكثر ؛ يكون قد اشترى الشيء بِزمن فيه الرخص ثم ترتفع الأسعار فيربح كثيرا ، كما أن الأمر كذلك يكون بالعكس ، قد يشتريها في زمن الغلاء وترخص رخصًا كثيرا ، فلا حدّ للربح الذي يجوز للإنسان أن يربحه.
Keutungan, tidak ada batasan tertentu. Karena itu termasuk rizki Allah. Terkadang Allah menggelontorkan banyak rizki kepada manusia.Sehinga kadang ada orang yang mendapatkan untung 100 atau lebih, hanya dengan modal 10. Dia membeli barang ketika harganya sangat murah, kemudian harga naik, sehingga dia bisa mendapat untung besar. Dan kadang terjadi sebaliknya, dia membeli barang ketika harga mahal, kemudian tiba-tiba harganya turun drastis. Karena itu, tidak ada batasan keuntungan yang boleh diambil seseorang.
Beliau melanjutkan,
نعم . لو كان هذا الإنسان هو الذي يختص بإيراد هذه السلع وتسويقها ورَبِح على الناس كثيرًا فإنه لا يَحِلّ له ذلك ؛ لأن هذا يُشبه بيع المضطر يعني البيع على المضطر ، لأن الناس إذا تعلَّقت حاجتهم بهذا الشيء ولم يكن موجودا الا عند شخص معين فإنه في حاجة للشراء منه وسوف يشتروا منه ولو زادت عليهم الأثمان ، ومثل هذا يجوز التسعير عليه ، وأن تتدخل الحكومة أو ولاة الأمر فيضربون له ربحًا مُناسبا لا يضره نقصه ، ويمنعونه من الربح الزائد الذي يَضرّ غيره
Jika ada orang yang memonopoli barang, hanya dia yang menjualnya, lalu dia mengambil keuntungan besar-besaran dari masyarakat, maka ini tidak halal baginya. Karena semacam ini sama dengan bai’ al-Mudhthor, artinya menjual barang kepada orang yang sangat membutuhkan. Karena ketika masyarakat sangat membutuhkan benda tertentu, sementara barang itu hanya ada pada satu orang, tentu mereka akan membeli darinya meskipun harganya sangat mahal. Dalam kasus ini, pemerintah bisa dilakukan pemaksaan harga, dan pemerintah berhak untuk turut campur, dan membatasi keuntungan yang sesuai baginya, yang tidak sampai merugikannya, dan dia dilarang untuk membuat keuntungan yang lebih, yang merugikan orang lain.
(Fatawa Islamiyah, 2/759).
Kedua, Fatwa Prof. Dr. Sulaiman Alu Isa (Guru besar di Universitas King Saud).
Pertanyaan: adakah batasan keuntungan yang ditetapkan dalam islam?
Jawaban:
فالجواب أنه لا مانع من زيادة السعر في سلعة ما لم تكن طعاماً فيدخل في الاحتكار المنهي عنه، لكن ينبغي ألا يخرج في زيادته عن السعر المعتاد فيدخل في الغبن الذي يكون للمشتري فيه الخيار بعد ثبوت البيع وقد حده بعض أهل العلم بالثلث؛ لقوله –صلى الله عليه وسلم- فيما رواه البخاري ومسلم:”الثلث والثلث كثير” وهذا كما أسلفت على رأي بعض أهل العلم.
Jawaban untuk kasus ini, tidak ada masalah dengan tambahan harga untuk suatu barang dagangan, selama bukan makanan, sehingga termasuk ihtikar (menimbun barang) yang hukumnya terlarang. Hanya saja, selayaknya tidak keluar dari harga normal, sehingga termasuk penipuan, yang menyebabkan pembeli memiliki hak pilih setelah jual beli. Sebagian ulama menetapkan batasannya adalah sepertiga. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, “Sepertiga, dan sepertiga itu sudah banyak.” Dan ini, seperti yang telah saya sebutkan, adalah pendapat sebagian ulama.
Beliau melanjutkan,
هذا ولا يظهر لي والعلم عند الله تعالى نسبة محددة للربح لا يجوز تجاوزها لأن الإنسان قد يشتري سلعة برخص فيبيعها بضعف ما اشتراها به أو ينتظر فيها حلول وقتها المناسب لها فيبيعها بربح كثير وقد روى البخاري (3641) وأبو داود في سننه (3384) عن عروة –رضي الله عنه- أن النبي –صلى الله عليه وسلم- أعطاه ديناراً ليشتري له به شاة فاشترى به شاتين فباع إحداهما بدينار فجاء بدينار وشاة فدعا له بالبركة في بيعه. وكان لو اشترى التراب لربح فيه. فهذا الحديث فيه أن عروة ربح الضعف، حيث باع إحدى الشاتين بدينار، وكان قد اشترى به شاتين فربح في نصف الدينار مثله، وقد أقره النبي –صلى الله عليه وسلم- على فعله ودعا له بالبركة، والله أعلم.
Namun menurut saya – Allahu a’lam – tidak ada batasan tertentu untuk harga, hingga tidak boleh dilampaui. Karena seseorang terkadang membeli barang dagangan sangat murah, kemudian dia jual dengan harga berkali lipat dari kulakannya, atau dia tunggu kesempatan yang cocok, lalu dia jual sehingga mendapatkan untuk besar. Diriwayatkan Bukhari (3641) dan Abu Daud dalam Sunannya (3384) dari Urwah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya 1 dinar untuk membeli seekor kambing. Namun oleh Urwah satu dinar itu digunakan untuk membeli 2 ekor kambing. Kemudian satu kambing dijual lagi dengan harga 1 dinar. Sehingga dia pulang dengan membawa 1 dinar dan seekor kambing. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan keberkahan untuknya. Andai Urwah ini menjual pasir, dia akan mendapat untung. Dalam hadis ini, Urwah mendapat untuk berlipat. Beliau menjual salah satu kambingnya dengan 1 dinar, padahal dia membeli dengan 1 dinar untuk 2 ekor kambing. Sehingga dia untuk satu kambing. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merestui perbuatan Urwah, bahkan mendoakannya dengan kebaikan. Allahu a’lam. (Fatawa wa Istisyarat Mauqi’ Islam al-Yaum, 3/2/1424 هـ).

Kesimpulan fatwa:
1.      Keuntungan adalah bagian dari rizki Allah, karena itu islam tidak membatasi keuntungan perdagangan.
2.      Boleh saja mengambil keuntungan dua kali lipat, sebagaimana disebutkan dalam hadis Urwah, selama memenuhi syarat.
3.      Syarat bolehnya mengambil keuntungan besar:
4.      Barang itu bukan kebutuhan pokok masyarakat
5.      Untungnya tidak berlebihan hingga termasuk penipuan
6.      Keuntungan itu tidak disebabkan karena usaha penimbunan (ihtikar), sehingga menyebabkan barang itu langka dan harganya menjadi mahal.
Semoga artikel ini menambah wawasan kita dalam berniaga khusunya dalam mengambil keuntungan dari sebuah transaksi sehingga harta kita terhindar dari harta haram dan riba didalamnya.

Sumber referensi: