Dalam
sebuah perniagaan tentunya seorang pedagang menginginkan sebuah laba atau
keuntungan yang sebesar-besarnya, lalu bagaimana hakikat keuntungan yang
memberikan ketenangan bagi penjual dan rasa kepercayaan dari konsumen terhadap
barang yang dibelinya ditetapkan dengan harga yang sesuai standar. Namun dimasa
zaman modern ini penentuan harga tersebut jarang mendapat perhatian dari
seorang pedagang yang menetapkan harga jual barangnya tanpa mengikuti ketetapan dari pemerintah,sehingga harga
barang tersebut jika mengalami kenaikan sangat tinggi harga yang ditetapkan dan
jika harga barang tersebut mengalami penurunan tidak ada batas atau standar
batasan harga sehingga para pedagang mengalami kerugian. Jadi harus ada standar
yang menentukan harga dalam pasar yang dilakukan pemerintah sehingga para
pedagang tidak was was dalam melakukan transaksi.
Keuntungan dalam sebuah perniagaan
merupakan sesuatu yang diharapkan oleh seorang pedagang, islam memberikan
pedeman bagaimana syarat dalam mengambil keuntungan yang sesuai dengan Al Qur’an
dan hadist,
Syarat mengambil
keutungan Menurut imam mazhab yang empat keuntungan dalam transaksi jual
beli tidaklah memiliki batasan tertentu, maka seorang padagang boleh
mendapatkan keuntungan seberapa pun besarnya, asalkan memenuhi dua kriteria:
Pertama, keuntungan tersebut
tidaklah didapatkan karena ‘menimbun’, yaitu seorang pedagang menimbun produk
yang menjadi hajat kebutuhan masyarakat banyak, lalu dia jual kembali setelah
harga mahal.
Perbuatan ini terlarang mengingat sebuah hadis
yang ada dalam Shahih Muslim dari Ma’mar bin Abdillah, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Siapa yang menimbun maka dia adalah pendosa.”
Oleh karena itu, jika banyak pedagang
memborong suatu produk yang menjadi hajat hidup orang banyak, lalu para
pedagang ini mengadakan kesepakatan untuk tidak menjual kembali barang tersebut
kecuali dengan harga tertentu yang mahal sehingga banyak kesulitan untuk
mendapatkan produk tersebut atau bahkan tidak mampu membelinya, maka ini adalah
tindakan yang hukumnya adalah haram karena perbuatan ini merugikan orang lain.
Pendapat yang paling kuat mengenai larangan
menimbun, tidak hanya berlaku pada bahan makanan pokok saja, namun semua produk
yang menjadi hajat hidup orang banyak.
Kedua, tidak ada ghaban (selisih
harga yang parah jika dibandingkan dengan harga normal). Yang dimaksud dengan
ghaban dalam masalah ini sebagaimana pendapat Malikiyah dan Hanabilah adalah
sebagai berikut:
Jika di pasaran sudah ada harga standar untuk
suatu produk tertentu, lalu ada pedagang yang menjual produk tersebut dengan
harga yang lebih tinggi dengan kenaikan harga sebanyak sepertiga dari harga
seharusnya untuk produk tersebut, maka manakala seorang pembeli mengetahui
bahwa harga pembelian produk tersebut kemahalan, dia memiliki hak khiyar, hak
melanjutkan atau membatalkan transaksi. Sedangkan pedagang yang melakukannya
tergolong berdosa.
Lain halnya untuk produk yang tidak memiliki patokan harga tertentu, maka menjual dengan harga yang jauh lebih mahal hukumnya boleh.
Lain halnya untuk produk yang tidak memiliki patokan harga tertentu, maka menjual dengan harga yang jauh lebih mahal hukumnya boleh.
Ada beberapa hadits Rasulullah saw menunjukkan bolehnya mengambil
laba hingga 100% dari modal. Misalnya hadits yang terdapat pada riwayat Imam
Ahmad dalam Musnadnya (IV/376), Bukhari (Fathul Bari VI/632),
Abu Dawud (no. 3384), Tirmidzi (no.1258), dan Ibnu Majah (no.2402) dari
penuturan Urwah Ibnul Jad al-Bariqi ra.
Sahabat Urwah diberi
uang satu dinar oleh Rasulullah saw untuk membeli seekor kambing.Kemudian ia
membeli dua ekor kambing dengan harga satu dinar. Ketika ia menuntun kedua ekor
kambing itu, tiba-tiba seorang lelaki menghampirinya dan menawar kambing
tersebut. Maka ia menjual seekor dengan harga satu dinar. Kemudian ia menghadap
Rasulullah dengan membawa satu dinar uang dan satu ekor kambing. Beliau lalu
meminta penjelasan dan ia ceritakan kejadiannya maka beliau pun berdoa: Ya
Allah berkatilah Urwah dalam bisnisnya.
Dan meraih keuntungan
lebih dari yang diambil Urwah pun diperkenankan asalkan bebas dari praktik
penipuan, penimbunan, kecurangan, kezhaliman, contoh kasusnya pernah dilakukan
oleh Zubeir bin Awwam salah seorang dari sepuluh sahabat Nabi yang dijamin
masuk surga. Ia pernah membeli sebidang tanah di daerah Awali Madinah dengan
harga 170.000 kemudian dijualnya dengan harga 1.600.000. ini artinya sembilan
kali lipat dari harga belinya (Shahih al-Bukhari, nomor hadits 3129).
Namun begitu, Imam Al-Ghozali dalam Ihya Ulumuddin-nya (II/72)
menganjurkan perilaku ihsan dalam berbisnis sebagai
sumber keberkahan yakni mengambil keuntungan rasional yang lazim berlaku pada
bisnis tersebut di tempat itu. Beliau juga menegaskan bahwa siapa pun yang qanaah (puas) dengan kadar keuntungan yang sedikit
maka niscaya akan meningkat volume penjualannya. Selain itu dengan meningkatnya
volume penjualan dengan frekuensi yang berulang-ulang (sering) maka justru akan
mendapatkan margin keuntungan banyak, dan akan menimbulkan berkah.
Pantas kalau Ali ra.
pernah berkeliling menginspeksi pasar Kufah dengan membawa tongkat pemukul
seraya berkata, Wahai segenap pedagang, ambillah yang benar, niscaya kamu
selamat. Jangan kamu tolak keuntungan yang sedikit, karena dengan menolaknya
kamu akan terhalang untuk mendapatkan yang banyak.
Abdurrahman bin Auf
pernah ditanya orang, apakah yang menyebabkan engkau kaya? Dia menjawab, karena
tiga perkara: aku tidak pernah menolak keuntungan sama sekali. Tiada orang yang
memesan binatang kepadaku, lalu aku lambatkan menjualnya, dan aku tidak pernah
menjual dengan sistem kredit berbunga. Contoh kasusnya, Abdurrahman bin Auf
pernah menjual 1000 ekor unta, tetapi ia tidak mengambil keuntungan melainkan
hanya dari tali kendalinya. Lalu dijualnya setiap helai tali itu dengan harga 1
dirham, dengan demikian ia mendapatkan keuntungan 1000 dirham. Dan dari
penjualan itu ia mendapatkan keuntungan 1000 dirham dalam sehari.
Itulah cermin orang mempraktekkan sabda Rasulullah saw bersabda: Semoga Allah merahmati orang yang toleran (gampang) ketika menjual,
toleran ketika membeli, toleran ketika menunaikan kewajiban dan toleran ketika
menuntut hak. (HR. Bukhari dari Jabir).
Itulah tuntunan Raslullah dalam bertransaksi dalam perniagaan dan
mengambil keutungan yang halal sehingga kita tidak menjadi was was dalam
bertransaksi.
Berikut juga kami
kutip dari laman https://pengusahamuslim.com/3897-batasan-mengambil-keuntungan-dalam-islam.html
bagaimana
batasan dalam mengambil keuntungan Berikut beberapa fatwa yang
menjelaskan batasan mengambil keuntungan dalam berdagang,
Pertama, fatwa
Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin,
Pertanyaan: ‘Apakah dalam berdagang
ada batasan keuntungan? Dan bagaimana hukumnya pemerintah menetapkan
harga?’
Jawaban beliau,
الربح ليس له حدّ ، فإنه
مِن رِزق الله عز وجل ، والله تعالى قد يسوق الرزق الكثير للإنسان ، فأحيانا يربح
الإنسان في العشرة مائة أو أكثر ؛ يكون قد اشترى الشيء بِزمن فيه الرخص ثم ترتفع
الأسعار فيربح كثيرا ، كما أن الأمر كذلك يكون بالعكس ، قد يشتريها في زمن الغلاء
وترخص رخصًا كثيرا ، فلا حدّ للربح الذي يجوز للإنسان أن يربحه.
Keutungan, tidak ada batasan tertentu. Karena itu
termasuk rizki Allah. Terkadang Allah menggelontorkan banyak rizki kepada
manusia.Sehinga kadang ada orang yang mendapatkan untung 100 atau lebih, hanya
dengan modal 10. Dia membeli barang ketika harganya sangat murah, kemudian
harga naik, sehingga dia bisa mendapat untung besar. Dan kadang terjadi
sebaliknya, dia membeli barang ketika harga mahal, kemudian tiba-tiba harganya
turun drastis. Karena itu, tidak ada batasan keuntungan yang boleh
diambil seseorang.
Beliau melanjutkan,
نعم . لو كان هذا الإنسان هو الذي يختص
بإيراد هذه السلع وتسويقها ورَبِح على الناس كثيرًا فإنه لا يَحِلّ له ذلك ؛ لأن
هذا يُشبه بيع المضطر يعني البيع على المضطر ، لأن الناس إذا تعلَّقت حاجتهم بهذا
الشيء ولم يكن موجودا الا عند شخص معين فإنه في حاجة للشراء منه وسوف يشتروا منه
ولو زادت عليهم الأثمان ، ومثل هذا يجوز التسعير عليه ، وأن تتدخل الحكومة أو ولاة
الأمر فيضربون له ربحًا مُناسبا لا يضره نقصه ، ويمنعونه من الربح الزائد الذي
يَضرّ غيره
Jika ada orang
yang memonopoli barang, hanya dia yang menjualnya, lalu
dia mengambil keuntungan besar-besaran dari masyarakat, maka ini
tidak halal baginya. Karena semacam ini sama dengan bai’ al-Mudhthor,
artinya menjual barang kepada orang yang sangat membutuhkan. Karena ketika
masyarakat sangat membutuhkan benda tertentu, sementara barang itu hanya ada
pada satu orang, tentu mereka akan membeli darinya meskipun harganya sangat
mahal. Dalam kasus ini, pemerintah bisa dilakukan pemaksaan harga, dan
pemerintah berhak untuk turut campur, dan membatasi keuntungan yang sesuai
baginya, yang tidak sampai merugikannya, dan dia dilarang untuk membuat
keuntungan yang lebih, yang merugikan orang lain.
(Fatawa Islamiyah, 2/759).
Kedua, Fatwa
Prof. Dr. Sulaiman Alu Isa (Guru besar di Universitas King Saud).
Pertanyaan: adakah batasan keuntungan yang ditetapkan
dalam islam?
Jawaban:
فالجواب أنه لا مانع من زيادة السعر في سلعة ما لم تكن طعاماً
فيدخل في الاحتكار المنهي عنه، لكن ينبغي ألا يخرج في زيادته عن السعر المعتاد
فيدخل في الغبن الذي يكون للمشتري فيه الخيار بعد ثبوت البيع وقد حده بعض أهل
العلم بالثلث؛ لقوله –صلى الله عليه وسلم- فيما رواه البخاري ومسلم:”الثلث والثلث
كثير” وهذا كما أسلفت على رأي بعض أهل العلم.
Jawaban untuk kasus ini, tidak ada masalah dengan tambahan harga
untuk suatu barang dagangan, selama bukan makanan, sehingga termasuk ihtikar
(menimbun barang) yang hukumnya terlarang. Hanya saja, selayaknya tidak keluar
dari harga normal, sehingga termasuk penipuan, yang menyebabkan pembeli
memiliki hak pilih setelah jual beli. Sebagian ulama
menetapkan batasannya adalah sepertiga. Berdasarkan sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, “Sepertiga,
dan sepertiga itu sudah banyak.” Dan ini, seperti yang telah saya sebutkan,
adalah pendapat sebagian ulama.
Beliau melanjutkan,
هذا ولا يظهر لي والعلم عند الله تعالى
نسبة محددة للربح لا يجوز تجاوزها لأن الإنسان قد يشتري سلعة برخص فيبيعها بضعف ما
اشتراها به أو ينتظر فيها حلول وقتها المناسب لها فيبيعها بربح كثير وقد روى
البخاري (3641) وأبو داود في سننه (3384) عن عروة –رضي الله عنه- أن النبي –صلى
الله عليه وسلم- أعطاه ديناراً ليشتري له به شاة فاشترى به شاتين فباع إحداهما
بدينار فجاء بدينار وشاة فدعا له بالبركة في بيعه. وكان لو اشترى التراب لربح فيه.
فهذا الحديث فيه أن عروة ربح الضعف، حيث باع إحدى الشاتين بدينار، وكان قد اشترى
به شاتين فربح في نصف الدينار مثله، وقد أقره النبي –صلى الله عليه وسلم- على فعله
ودعا له بالبركة، والله أعلم.
Namun menurut saya – Allahu a’lam – tidak ada batasan tertentu
untuk harga, hingga tidak boleh dilampaui. Karena seseorang terkadang membeli
barang dagangan sangat murah, kemudian dia jual dengan harga berkali lipat dari
kulakannya, atau dia tunggu kesempatan yang cocok, lalu dia jual sehingga mendapatkan
untuk besar. Diriwayatkan Bukhari (3641) dan Abu Daud dalam Sunannya (3384)
dari Urwah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberinya 1 dinar untuk membeli seekor kambing. Namun oleh Urwah satu dinar
itu digunakan untuk membeli 2 ekor kambing. Kemudian satu kambing dijual lagi
dengan harga 1 dinar. Sehingga dia pulang dengan membawa 1 dinar dan seekor
kambing. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan keberkahan
untuknya. Andai Urwah ini menjual pasir, dia akan mendapat untung. Dalam hadis
ini, Urwah mendapat untuk berlipat. Beliau menjual salah satu kambingnya
dengan 1 dinar, padahal dia membeli dengan 1 dinar untuk 2 ekor kambing.
Sehingga dia untuk satu kambing. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
merestui perbuatan Urwah, bahkan mendoakannya dengan kebaikan. Allahu a’lam. (Fatawa
wa Istisyarat Mauqi’ Islam al-Yaum, 3/2/1424 هـ).
Kesimpulan fatwa:
1.
Keuntungan adalah
bagian dari rizki Allah, karena itu islam tidak membatasi keuntungan perdagangan.
2.
Boleh
saja mengambil keuntungan dua kali lipat, sebagaimana disebutkan
dalam hadis Urwah, selama memenuhi syarat.
3.
Syarat
bolehnya mengambil keuntungan besar:
4.
Barang itu bukan
kebutuhan pokok masyarakat
5.
Untungnya tidak
berlebihan hingga termasuk penipuan
6.
Keuntungan itu tidak
disebabkan karena usaha penimbunan (ihtikar), sehingga menyebabkan barang itu
langka dan harganya menjadi mahal.
Semoga artikel ini menambah wawasan
kita dalam berniaga khusunya dalam mengambil keuntungan dari sebuah transaksi
sehingga harta kita terhindar dari harta haram dan riba didalamnya.
Sumber referensi: