Persaingan usaha adalah hal yang
pasti ada di dalam dunia usaha, apalagi di zaman globalisasi seperti sekarang
ini, dunia usaha seolah-olah tidak lagi memiliki batas apapun, semua dapat
bersaing dan persaingan usaha akan semakin ketat. Ditambah lagi sekarang
ini kita sedang menghadapi era perdagangan bebas, yang kemungkinan adanya
persaingan-persaingan liar yang menghalalkan segala macam cara hanya untuk
mencapai tujuannya. Tapi, bagaimanakah pandangan Islam mengenai persaingan
usaha?
Dalam Islam, telah diatur tata cara
berhubungan antar manusia, hubungannya dengan Allah, aturan main yang
berhubungan dengan hukum (halal-haram) dalam setiap aspek kehidupan termasuk
aktivitas usaha/bisnis agar seorang muslim dapat selalu menjaga perilakunya dan
tidak terjerumus ke dalam kesesatan. Adapun sifat atau karakteristik yang
harus dimiliki oleh seorang pebisnis sesuai ajaran Islam adalah memiliki sifat
takwa dan tawakal kepada Allah SWT, jujur dan adil dalam menghadapi persaingan,
bersedekah untuk kebaikan serta menjalin silaturahmi agar dapat mempererat
ikatan persaudaraan.
Dengan karakter tersebut, maka
seorang muslim akan lebih mendekatkan diri kepada Allah dan tidak hanya
memikirkan urusan dunia tetapi juga untuk urusan akhirat. Telah dijelaskan
dalam Al-Qur’an dan Hadits bagaimana cara menghadapi persaingan yang sehat
sesuai ajaran Islam sehingga tidak merugikan pihak lain. Seperti yang
dicontohkan oleh Rasulullah SAW tentang bagaimana bersaing dengan baik. Ketika
berdagang Rasul tidak pernah melakukan usaha yang membuat usaha pesaingnya
hancur, walaupun tidak berarti gaya berdagang Rasul seadanya tanpa
memperhatikan daya saingnya tetapi beliau memberikan pelayanan sebaik-baiknya
dan selalu bersikap jujur, termasuk jika ada kecacatan pada barangnya. Secara
alami hal-hal seperti ini ternyata dapat meningkatkan kualitas penjualan dan
menarik para pembeli tanpa menghancurkan pedagang lainnya. Hendaknya kaum
muslimin tetap berusaha keras sebaik mungkin dengan penuh tawakal kepada Allah
SWT. Adapun untuk hasil kerja keras tersebut diserahkan kepada kehendak Allah
dan kita harus ikhlas menerimanya. Sebagaimana firman-Nya : “Bekerjalah
kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat
pekerjaanmu dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang Maha Mengetahui akan
yang ghaib dan yang nyata. Lalu diberitakannya kepada kamu apa yang telah kamu
kerjakan” (QS. 9: 105).
Apalagi persaingan usaha dalam hal makanan
halal prospeknya tentu akan baik sekali dikarenakan makanan halal merupakan
makanan yang dianjurkan dalam islam baik dilihat dari segi manfaat maupun dari
segi agama. Apa sih makanan halal itu?
Mengkonsumsi makanan yang halal dan
baik (thayib) merupakan perintah Allah
SWT yang wajib dilaksanakan oleh
setiap orang yang beriman. Perintah ini
dapat disejajarkan dengan bertaqwa
kepada Allah.
Dengan demikian, mengkonsumsi makanan
halal dengan dilandasi iman dan taqwa
karena mengikuti perintah Allah SWT
merupakan ibadah yang mendatangkan pahala
dan memberikan kebaikan dunia dan akhirat.
Sebaliknya, mengkonsumsi yang
haram merupakan perbuatan maksiat
yang mendatangkan dosa dan keburukan
baik dunia maupun akhirat.
Di dalam Al-Qur’an telah ditegaskan
bahwa makanan dan minuman yang diharamkan
adalah:
1. Bangkai
2. Darah
3. Babi
4. Binatang yang disembelih dengan
menyebut nama selain Allah SWT
5. Khamr atau minuman yang memabukkan
Sebenarnya apa yang diharamkan Allah
SWT untuk dimakan jumlahnya sangat
sedikit. Selebihnya, apa yang ada di
muka bumi ini pada dasarnya adalah halal,
kecuali yang dilarang secara tegas
dalam Al Qur’an dan Hadits. Namun perkembangan
teknologi telah menciptakan aneka
produk olahan yang kehalalannya diragukan.
Banyak dari bahan-bahan haram
tersebut yang dimanfaatkan sebagai bahan
baku, bahan tambahan atau bahan
penolong pada berbagai produk olahan, karena dianggap lebih ekonomis.
Akibatnya kehalalan dan keharaman
sebuah produk seringkali tidak jelas karena
bercampur aduk dengan bahan yang
diragukan kehalalannya. Hal ini menyebabkan berbagai macam produk olahan
menjadi syubhat dalam arti meragukan dan tidak jelas status kehalalannya.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
menyimpulkan bahwa semua produk
olahan pada dasarnya adalah syubhat. Oleh
karena itu diperlukan kajian dan
penelaahan sebelum menetapkan status halalharamnya suatu produk. Hal ini
dilakukan untuk menenteramkan batin umat Islam dalam mengkonsumsi suatu produk.
“Hai sekalian manusia! Makanlah yang
halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang
nyata bagimu” (QS. al-Baqarah [2]: 168).
“Diharamkan bagimu (memakan)
bangkai, darah, daging babi, (daging hewan)
yang disembelih atas nama selain
Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh,
yang ditanduk, dan yang diterkam
binatang buas, kecuali yang sempat kamu
menyembelihnya, dan (diharamkan
bagimu memakan hewan) yang disembelih
untuk berhala...” (QS. al-Ma’idah
[5]: 3).
“Sesungguhnya Allah hanya
mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan
binatang yang (ketika disembelih)
disebut (nama) selain Allah. Akan tetapi, barang
siapa dalam keadaan terpaksa
(memakannya) sedang ia tidak menginginkannya
dan tidak (pula) melampaui batas,
maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”
(QS. al-Baqarah [2]: 173).
Daftar Pustaka:
http://www.halalmui.org/newMUI/index.php/main/go_to_section/14/39/page/1